Haloo Selamat Siang sahabat sahabatku, kali ini saya akan berbagi cerita tentang bagaimana menyiapkan dana pensiun sahabat semua.
Banyak orang yang berpendapat bahwa pensiun hanya
perlu dipikir setelah memasuki usia 40-50an atau ketika anak-anak sudah
bisa mandiri. Namun tidak sedikit pula yang merasa angan-angan pensiun harus sudah dirasakan saat manusia berusia 50an,
dalam arti berhenti bekerja mencari uang dan menikmati hari tua bersama anak dan cucu, dan semua itu tergantung mind set manusianya sendiri.
Tulisan ini hanya berbagi pengamatan dan pikiran
pribadi saja mengenai berbagai cara orang menghadapi masa pensiun
tergantung dari status sosial ekonomi seseorang. Perkara benar tidaknya
saya serahkan pada pembaca.
Anak Adalah Harta
Orang tua yang berekonomi rendah
biasanya mengandalkan anak sebagai ‘investasi masa pensiun’. "banyak anak banyak rezeki" kalimat itu sering kita dengar dari orang orang dulu. Salah satu
teman saya orang Fiji pernah cerita bahwa orang tuanya waktu masih muda
kerja keras agar anak-anaknya bisa kuliah dan memiliki masa depan lebih
baik dari mereka. Setelah anak-anaknya sudah bekerja semua dan
tinggal di luar negeri, orang tua langsung berhenti bekerja pada usia 50an
dan gantian anak-anaknya yang saling bahu-membahu patungan bayar biaya
hidup orang tua mereka.
Cerita serupa juga terjadi pada teman asal India
yang kuliah ke Sydney dengan meminjam uang pamannya. Setelah kuliah
selesai dan visa Permanent Residency sudah ditangan, dia banting tulang
membangun karir demi melunasi hutang dan menabung agar orang tuanya bisa
cepat pensiun.
Saya yakin di Indonesia juga banyak yang mengandalkan anaknya.
Dalam norma budaya timur, anak berbakti pada orang tua tidak hanya
normal tapi diharapkan. Terlebih mereka yang terjepit secara ekonomi,
bila tidak mengandalkan anak dan sanak saudara, siapa lagi?
Perencanaan yang Matang dan Teratur
Di Australia dan negara maju umumnya, pemerintah
memiliki aturan yang mewajibkan/memberi isentif bagi penduduknya untuk
menyisihkan sebagian penghasilan secara reguler untuk masa tuanya. Dana
hanya bisa diakses setelah memasuki usia pensiun kecuali bila sangat
mendesak (on compassionate ground) misal, butuh biaya untuk pemakaman.
Di negara berkembang, biasa mereka yang sadar
pentingnya menyisihkan sebagian penghasilan untuk masa pensiun tergolong
kelas menengah dan berpendidikan. Selain punya uang ekstra, mereka juga
aktif belajar seluk beluk keuangan untuk menyiapkan dana pensiun. Masa depan tidak ada yang tahu, namun bolehlah kita
menyusun rencana masa pensiun.
Berikut 2 langkah singkat dalam
menyiapkan dana pensiun:
1.Menghitung biaya hidup tahunan
Pertama, miliki gambaran jelas seperti apa gaya
hidup yang akan Anda jalanin ketika pensiun. Apakah Anda berencana
keliling dunia? Main sama cucu? Atau hidup sederhana berkebun di
perkarangan rumah?
Itu semua akan berimbas pada berapa dana yang Anda
butuhkan untuk pensiun dengan tenang. Bila Anda menderita penyakit yang
membutuhkan medikasi rutin, masukkan juga biaya pengobatan dalam
perhitungan biaya hidup untuk pensiun.
Biaya hidup tidak perlu 100% akurat, yang penting
cukup informatif untuk memberikan gambaran kasar biaya hidup masa
pensiun karena banyak faktor diluar kontrol kita seperti inflasi.
Katakanlah, setelah refleksi gaya hidup masa
pensiun, menurut perhitungan Anda biaya tahunan sebesar Rp180.000.000,- (Rp500.000,- perhari X 30 hari X 12 bulan).
Anda berencana pensiun pada umur 60 dan merasa dapat hidup panjang
hingga 80 tahun jadi dana yang Anda butuhkan untuk pensiun adalah
Rp3.600.000.000,- (20 x Rp180.000.000,-).
2.Action Plan memperoleh Dana Pensiun
Banyak cara menuju Roma,
demikian juga ada berbagai cara mengumpulkan dana untuk pensiun. Semakin
muda memulai semakin besar/cepat target dana terpenuhi. Bagi yang
konservatif, uang ekstra disisihkan 100% ke tabungan khusus pensiun yang
tidak akan disentuh kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.
Bagi yang lebih canggih, uang ekstra dialihkan ke berbagai jenis kendaraan investasi tergantung risk profile masing-masing. Misal 20% disimpan di rekening berbunga tinggi, 60% untuk beli emas/properti, 20% untuk beli saham/reksadana/asuransi (unitlink).
Contoh diatas hanya ilustrasi bukan untuk ditiru
mentah-mentah. Dalam realitas, komposisi port0folio kembali pada jumlah
uang yang sanggup disisihkan, tinggi rendahnya risk profile individu
masing-masing dan kinerja kendaraan investasi yang ada. Kuncinya: konsisten menyisihkan penghasilan + bijak mengenal kendaraan investasi untuk dana pensiun.
Arus Kas + Aset
Mereka yang menggunakan cara ketiga ini biasa
berpenghasilan tinggi, nyali tinggi, ulet dan bersedia menanggung resiko
yang lebih tinggi. Mirip dengan cara kedua hanya saja aset yang mereka
akusisi bernilai lebih besar dan mereka lebih aktif melibatkan diri.
Misalnya, alih-alih uang ekstra yang disisihkan
dimasukan ke dalam deposito, saham, dana reksa, emas dan aset lainnya
yang biasa diakusisi dalam jumlah kecil dan teratur seperti yang
dilakukan cara kedua, mereka menggunakannya untuk modal usaha.
Salah satu kolega saya suami istri bekerja sebagai
karyawan swasta, ketika masih kuliah mereka pernah bekerja sebagai
pelayan restoran. Selagi bekerja mereka rutin menyisihkan uang untuk
modal usaha meskipun pada saat itu belum tahu mau usaha apa.
Suatu hari kenalan mereka berniat menjual usaha
restoran karena alasan ingin pensiun. Singkat cerita dengan uang
tabungan + pinjaman ortu + pengalaman bekerja di restoran, suaminya
berhenti kerja dan terjun menjalani restoran sementara si istri tetap
bekerja, jaga-jaga seandainya usaha restorannya macet mereka masih bisa
makan.
Usaha restoran tersebut cukup sukses dan dijalani
selama berpuluh-puluh tahun sebelum akhirnya dijual, arus kas yang masuk
mereka gunakan untuk melunasi KPR + membeli beberapa unit properti
sebagai investasi hari tua + warisan untuk anak-anak.
Tidak semua orang sanggup atau tertarik menjalankan/membeli bisnis sebagai aset.
Mereka yang berpenghasilan tinggi seperti dokter,
pengacara atau teman saya, senior akuntan tempat saya kerja juga
memiliki beberapa properti sebagai investasi. Dia mengaku karakternya
tidak cocok untuk bisnis, dengan statusnya yang single dan sudah berusia
40-50an, dia lebih suka kendaraan investasi yang lebih stabil.
Sekali lagi, cerita diatas bukan untuk ditiru mentah-mentah, saya hanya menjabarkan apa yang saya amati.
Terlepas cara mana yang digunakan ada 1 hal lagi yang maha penting untuk dilakukan: JAGALAH KESEHATAN ANDA.
Sebesar apapun dana pensiun menjadi tidak berarti bila pada masa tua
hidup sakit-sakitan karena kebiasaan merokok, minum-minum dan
memperlakukan tubuh hanya sebagai pintu kesenangan duniawi semasa muda.
Ingat, bila Anda jatuh sakit masa depan keluarga
Anda juga terkena imbasnya. Setidaknya ada 2 keluarga yang saya tahu
pribadi terkuras tabungannya karena biaya berobat. Jangankan dana
pensiun, untuk makan sehari-hari saja pusing. Bahkan hubungan antar
keluarga menjadi tidak harmonis.
Menjaga kesehatan bukan hanya masuk akal secara
finansial tapi juga dari sudut pandang kualitas hidup. Ketika memasuki
masa pensiun kita semua tentu ingin menikmati hidup yang berkualitas,
tidak sekedar berumur panjang dan menjadi berkat bagi orang-orang
sekitar.
Bekerja keras keraslah ketika masih muda namun
ingat kesehatan juga harus dijaga, jangan sampai uang yang sudah dikumpulkan habis untuk berobat di masa pensiun.